MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN HIRSHSPRUNG
DISUSUN OLEH
:
M.
DAVID NUGROHO
0101433
AKADEMI
KEPERAWATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2012
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya makalah dengan
judul Asuhan Keperawatan Hirshsprung dapat diselesaikan. Adapun tujuan
penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Anak, khususnya
teori tentang Hirshsprung.
Penulis menyampaikan terima kasih
kepada pihak-pihak yang membantu penyelesaian makalah ini:
1. Siti Hariyanti, S.Kep.Ns
dan Eka Adimayanti, S.Kep.Ns selaku pembimbing mata kuliah Keperawatan Anak
2. Teman-teman yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.
3. Orang tua yang senantiasa
mendoakan kami dan selalu memberikan dukungan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan untuk hasil yang lebih baik di kemudian hari.
Semoga makalah ini bermanfaat.
Ungaran, 18 Maret 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
- Latar Belakang.........................................................................................
- Tujuan Penulisan......................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
- Definisi ...................................................................................................
- Etiologi ...................................................................................................
- Klasifikasi................................................................................................
- Patofisiologi dan Pathway.......................................................................
- Manifestasi Klinis....................................................................................
- Penatalaksanaan.......................................................................................
- Komplikasi...............................................................................................
- Asuhan Keperawatan...............................................................................
BAB III PENUTUP............................................................................................
- Kesimpulan..............................................................................................
- Saran........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun 1886 Hirschsprung
mengemukakan 2 kasus obstipasi sejak lahir yang dianggapnya disebabkan oleh
dilatasi kolon. Kedua penderita tersebut kemudian meninggal. Dikatakannya pula
bahwa keadaan tersebut merupakan kesatuan klinis tersendiri dan sejak itu
disebut penyakit Hirscsprung atau megakolon kongenital.
(Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Indonesia,
1985).
Zuelser dan Wilson (1948) mengemukakan
bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion prarasimpatis.
Sejak saat tersebut penyakit ini lebih dikenal dengan istilah aganglionosis
kongenital.
(Ilmu Kesehatan Anak, Universitas
Indonesia, 1985).
Beberapa metoda penatalaksanaan bedah
definitif untuk kelainan Hirschsprung ini telah pula diperkenalkan, mula-mula
oleh Swenson dan Bill (1946) berupa prosedur rektosigmoidektomi, Duhamel (1956)
berupa prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal
ekstramukosa serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection.
Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik
komplikai dini berupa infeksi, dehisensi luka, abses pelvik dan kebocoran
anastomose, maupun komplikasi lanjut berupa obstipasi, inkontinensia dan
enterokolitis. Namun secara umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa
ke-empat prosedur bedah definitif diatas memberikan komplikasi yang hampir
sama, namun masing-masing prosedur memiliki keunggulan tersendiri dibanding
dengan prosedur lainnya, tergantung keahlian dan pengalaman operator yang
mengerjakannya .
(Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997,
Teitelbaum,1999).
B . Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum :
Setelah membuat makalah ini, mahasiswa
dapat menjelaskan Asuhan Keperawatan pada klien anak dengan gangguan
Hirscshprung dengan resiko tinggi.
2. Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah membuat makalah ini mahasiswa dapat
menjelaskan:
a. Anatomi fisiologi sistem
gastrointestinal.
b. Definisi penyakit
Hirschsprung
c. Etiologi penyakit
Hirschsprung.
d. Patofisiologi penyakit
Hirschsprung.
e. Pathway penyakit
Hirschsprung.
f. Penatalaksanaan penyakit
Hirschsprung.
g. Asuhan Keperawatan Anak pada
penyakit Hirschsprung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- Definisi
Hirschsprung adalah sebuah
kelainan bawaan lahir yang cukup jarang terjadi dan mengakibatkan beberapa
kerusakan karena tidak sempurnanya sistim kerja usus. Kasus terbanyak dialami
oleh pria dan umumnya ditemukan pada anak-anak yang memiliki sindroma
down. (Down Syndrome). Kelainan ini dapat berakibat kematian atau
kelainan kronis lainnya. Penyakit Ini disebabkan oleh pergerakan usus yang
tidak memadai karena tidak terdapatnya syaraf pada bagian usus tertentu hingga
mengakibatkan pembesaran usus. (www.ayah bunda.com)
Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital)
adalah suatu penyumbatan pada usus besar yang terjadi akibat pergerakan usus
yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang
mengendalikan kontraksi ototnya. (www.medicastor.com)
Hirschsprung’s disease atau conginetal aganglionic mgacolon dengan
gejala-gejala obstruksi intestinal (muntah, perut besar), yang kemudian menjadi
konstipasi kronik, dan mungkin diare yang berat dengan kenaikkan suhu badan,
terutama pada bayi, dapat berakibat hipoproteinemia dan gagal tumbuh (Rossi,
1981).
Penyakit
hirschprung ditandai dengan tidak adanya secara kongenital sel ganglion di
dalam pleksus mienterikus dan submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi
mulai dari segmen yang pendek yang hanya mengenai daerah sfingter anal sampai
daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil. (www.pediatric.com).
Penyakit Hirschsprung
adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinkter ani
interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk
anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan
pasase usus fungsional .
(Kartono,1993; Heikkinen
dkk,1997;Fonkalsrud,1997). (www.google.com).
- Etiologi
Dalam keadaan normal, bahan
makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi
ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan
peristaltik).
Kontraksi otot-otot
tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak
dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada,
biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki
gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi
penyumbatan.
Penyakit Hirschsprung 5
kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki.
Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya, misalnya sindroma
Down.
Pada pemeriksaan patologi
anatomi dari penyakit ini, tidak ditemukan sel ganglion Auerbach dan Missner,
serabut saraf menebal dan srabut otot hipertrofik. Aganglionosis ini mulai dari
anus ke arah oral.
(IKA, Universitas
Indonesia, 1985).
Berdasarkan panjang segmen
yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe, yaitu ;
1. Penyakit Hirschsprung
segmen pendek.
Segmen aganglionosis mulai dari anus
sampai sigmoid. Merupakan 70% dari kasus Hirschsprung dan lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
2. Penyakit Hirschsprung
segmen panjang
Daerah aganglionosis dapat melebihi
sigmoid, malahan dapat mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Ditemukan
sama banyak pada anak laki-laki dan anak perempuan.
- Patofisiologi
Penyakit
Hirschprung ditimbulkan karena kegagalan migrasi kranio-kaudal dari cikal bakal
sel ganglion sepanjang usus pada minggu ke 5 sampai minggu ke 12., yang
mengakibatkan terdapatnya segmen aganglionik. Dalam segmen ini, peristalsis
propulsif yang terkoordinasi akan hilang dan sfingter anal internal gagal untuk
mengendor pada saat distensi rektum. Hal ini menimbulkan obstruksi, distensi
abdomen dan konstipasi. Segmen aganglionik distal tetap menyempit dan segmen
ganglionik proksimal mengalami dilatasi. Hal ini tampak pada enema barium
sebagai zona transisi. (www.medicastore.com).
Sistem persarafan
autonom instrinsik saluran gastrointestinal terdiri dari pleksus sel ganglion
dengan hubungan neural masing-masing ke (1). Pleksus Auerbach, terletak
diantara lapisan otot sirkular dan longitudinal. (2). Pleksus Henle atau “Deep
Submucosal Plexsus” terletak
disepanjang batas dalam muskularis propria sirkular. Dan (3). Pleksus Meissner
dibawah muskularis mukosa. Tiap pleksus mengandung orgamen halus yang
terintregrasi yang bekerja untuk mengontrol semua fungsi absorbsi, sekresi,
alirasn darah dan mortilitas usus dengan kontrol yang relative kecil dari
sistem saraf pusat.
Terminologi
megacolon aganglion kongenital digambarkan karena adanya kecacatan secara
primer, dimana keberadaan sel ganglion dalam jumlah yang sedikit atau tidak
adanya sama sekali sel ganglion disatu, atau beberapa segmen didalam kolon.
Mekanisme terjadinya aganglion pada penyakit Hirscshprung ini bermula jika
migrasi sel neuroblast terhenti disuatu tempat dan tidak mencapai rectum,
dimana pada keadaan normal sel neuroblast bermigrasi dari krista neuralis
saluran gastrointestinal bagian atas dan slanjutnya mengikuti serabut-serabut
vagal yang telah ada di kaudal.
Segmen
aganglionik ini bisa meliputi rectum dan bagian proksimal di usus besar, bisa
saja segmen aganglionik trjadi pada seluruh usus, namun hal ini jarang terjadi.
Dengan adanya sgmn aganglionik hal ini akan mengakibatkan kurangnya gerak
pristaltik sehingga terjadi akumulasi bahan-bahan diusus dan terjadi distensi
isi perut bagian proksimal sampai terjadi megacolon.
Spingter anal
terdiri dari otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran anal. Adanya
kegagalan dari spingter anal interna untuk relaksasi hal ini akan menyebabkan
terjadinya obstruksi sebab adanya pencegahan evakuasi solid air dan gas.
Distensi usus dan iskmik dapat muncul sebagai komplikasi berikutnya dimana hal
ini dapat menyebabkan terjadinya enterokolitis.
Phatway
- Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit
Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal.
Ada trias gejala klinis
yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau
dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka
94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5%
untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan
distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan
segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja,
namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada
usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk
dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi
(Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson
dkk,1990). (Gambar 6).
Foto pasien penderita Hirschsprung
berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan menderita
sekali.
(2). Anak.
Pada anak yang lebih besar,
gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to
thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika
dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air
besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya
sulit untuk defekasi
Foto anak yang telah besar, sebelum
dan sesudah tindakan definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah
operasi.
- Penatalaksanaan Medis
- Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi
merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos
abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan
standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana
akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah
penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah
transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah
pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Kartono,1993).
Apabila dari foto barium
enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat
dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang
bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid . (Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990)
Terlihat gambar barium
enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitan,
dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.
- Pemeriksaan Histopatologis
Diagnosa histopatologi
penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus
mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi
pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf
parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin
eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein
S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja
pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang
berbeda seperti dengan adanya perdarahan . (Cilley dkk,2001)
Swenson pada tahun 1955
mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot
rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis, metode
ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi
dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif.
Noblett tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat
khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat
keberadaan pleksus Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi
eksisi sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100%
(Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat :
2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.
Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa
ada hasil negatif palsu dan komplikasi (Kartono,1993; Swenson dkk,1990;
Swenson,2002).
- Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri
anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi
defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya,
manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar :
transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter
mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer . (Shafik,2000;
Wexner,2000; Neto dkk,2000)
Beberapa hasil manometri anorektal
yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang
dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi
peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak
berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan
(Kartono,1993; Tamate,1994;
Neto,2000).
Tampak gambar skema dari manometri
anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada
penderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi spinkter ani.
- Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin sterase dari hasil
biopsi hisap. Pada penyakit Hirschsprung, khas yang terdapat peningkatan
aktivitas enzim asetilkolin esterase.
- Pemeriksaan aktivitas norepineprin dari jaringan biopsi usus.
Usus yang aganglionosis akan menunjukkan peningkatan aktivitas enzim
tersebut.
- Pengobatan
Tindakan defenitif adalah
menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit. Sebelum operasi
definitif, dapat dilakukan pengobatan konservatif yaitu tindakan darurat untuk
mnghilangkan tanda-tanda obstruksi rndah dengan jalan memasang anal
tube dngan atau tanpa disertai pmbilasan dngan air garam hangat secara
teratur. Tindakan konservatif ini sebenarnya akan mengaburkan gambaran
pemeriksaan barium enema yang dibuat kemudian.
Kolostomi merupakan
tindakan operasi darurat dan dimaksudkan untuk menghilangkan gejala obstruksi
usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan umum penderita sebelum operasi
definitif.
Oprasi defenitif dilakukan
dengan mereseksi segmen yang menyempit dan menarik usus yang sehat ke arah
anus. Cara ini dikenal dengan pull through (Swenson, Reinbein dan
Duhamel). Di RSCM Jakarta, dianjurkan pull through modifikasi Duhamel,
setelah terlebih dahulu dibuat kolostomi terminal.
(IKA, Universitas Indonesia, 2000)
- Tindakan Pembedahan
1.
Tindakan Pembedahan Sementara
Tindakan bedah sementara
pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang
memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu
komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan
angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomose . (Fonkalsrud
dkk,1997; Swenson dkk,1990)
2.
Tindakan Bedah Definitif
·
Prosedur Swenson
Orvar Swenson dan Bill
(1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik terobos
(pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung.
Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan
preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea
dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam
pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan.
Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan
melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum
bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior . (Kartono,1993;
Swenson dkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002)
Prosedur Swenson dimulai
dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi
rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke
dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran
anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang
aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal
pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal
yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan,
mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke
kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup.
(Kartono,1993; Swenson dkk,1990)
·
Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan
Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur
Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang
ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior
kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli
memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia
dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila
terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel,
diantaranya:
Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem
melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia.
Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler
untuk melakukan anastomose side to side yang panjang.
Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose,
yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian.
Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal
dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni
pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan
2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih
dititik beratkan pada fungsi hemostasis (Kartono,1993).
Foto prosedur Duhamel modifikasi
(searah jarum jam ). Tampak usus ganglionik diprolapskan melalui rektum
posterior, keluar dari saluran anal. 10 – 14 hari kemudian,usus yang
diprolapskan tadi dipotong dan di anastomose end to side dengan rektum,
kemudian dilakukan pemotongan septum dengan klem Ikeda.
·
Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya
pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada
malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan
untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur
Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik
terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah
dikupas tersebut. (Reding
dkk,1997; Swenson dkk,1990)
·
Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep
anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal
verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin
guna mencegah stenosis.
(Swenson dkk,2000)
I.
Komplikasi.
Enterokolitis nekrotikans, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi
dan septikemia
II. Asuhan Keperawatan.
A.
Pengkajian.
- Identitas.
Penyakit ini
sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal.
Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada
segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus
halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan.
(Ngastiyah, 1997)
- Riwayat Keperawatan.
a.
Keluhan utama.
Obstipasi
merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan
adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut
kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b.
Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan
kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir
dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering
mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi
selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi
abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
c.
Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung.
d.
Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada
keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e.
Riwayat kesehatan lingkungan.
Tidak ada
hubungan dengan kesehatan lingkungan.
f.
Imunisasi.
Tidak ada
imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
g.
Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan.
h.
Nutrisi.
- Pemeriksaan fisik.
a.
Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.
b.
Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.
c.
Sistem pencernaan.
Umumnya
obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak yang
lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan
dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau
tinja yang menyemprot.
d.
Sistem genitourinarius.
e.
Sistem saraf.
Tidak ada
kelainan.
f.
Sistem
lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.
g.
Sistem endokrin.
Tidak ada
kelainan.
h.
Sistem integumen.
Akral hangat.
i.
Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.
- Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a.
Foto polos abdomen tegak akan
terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
b.
Pemeriksaan dengan barium enema
ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian
menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi barium
setelah 24-48 jam.
c.
Biopsi isap, mencari sel
ganglion pada daerah sub mukosa.
d.
Biopsi otot rektum, yaitu
pengambilan lapisan otot rektum.
e.
Pemeriksaan aktivitas enzim
asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin
eseterase.
B.
Diagnosa Keperawatan
1.
Gangguan eliminasi BAB :
obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong.
2.
Gangguan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
3.
Kekurangan cairan tubuh
berhubungan muntah dan diare.
4.
Gangguan rasa nyaman
berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
5.
Koping keluarga tidak efektif
berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak.
C.
Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
|
Perencanaan Keperawatan
|
||
Tujuan dan criteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
Gangguan
eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya
daya dorong.
|
Pasien
tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi normal, tidak
distensi abdomen.
|
1. Monitor cairan yang
keluar dari kolostomi
2. Pantau jumlah cairan
kolostomi
3. Pantau pengaruh diet
terhadap pola defekasi
|
Mengetahui warna dan konsistensi
feses dan menentukan rencana selanjutnya
Jumlah cairan yang keluar dapat
dipertimbangkan untuk penggantian cairan
Untuk mengetahui diet yang
mempengaruhi pola defekasi terganggu.
|
Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
|
Kebutuhan
nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai kebutuhan
secara parenteal atau per oral.
|
1.
Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
2.
Pantau pemasukan makanan selama perawatan
3.
Pantau atau timbang berat badan.
|
Memenuhi kebutuhan nutrisi dan
cairan
Mengetahui keseimbangan nutrisi
sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori
Untuk mengetahui perubahan berat
badan
|
Kekurangan
cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
|
Kebutuhan
cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi, turgor
kulit normal.
|
1. Monitor tanda-tanda
dehidrasi.
2. Monitor cairan yang
masuk dan keluar.
3. Berikan caiaran sesuai
kebutuhan dan yang diprograrmkan
|
Mengetahui kondisi dan menentukan
langkah selanjutnya
Untuk mengetahui keseimbangan
cairan tubuh
Mencegah terjadinya dehidrasi
|
Gangguan
rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
|
Kebutuhan
rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami
gangguan pola tidur
|
1.
Kaji terhadap tanda nyeri
2.
Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus,
ketenangan
3.
Berikan obat analgesik sesuai program
|
Mengetahui tingkat nyeri dan
menentukan langkah selanjutnya
Upaya dengan distraksi dapat
mengurangi rasa nyeri
Mengurangi persepsi terhadap nyeri
yamg kerjanya pada sistem saraf pusat
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berbagai gangguan yang terdapat pada saluran pencernaan bayi dan
anak pada intinya disebabkan karena dua hal yaitu kelainan yang didapat atau
bawaan. Salah satu contoh gangguan akibat kelainan kongenital yaitu
hirschsprung yang juga dikenal dengan megakolon kongenital
Hirschsprung disebabkan karena tidak adanya sel ganglion dalam
rectum dan sebagian tidak ada dalam colon. Masalah keperawatan utamanya yaitu
terjadinya gangguan defekasi (obstipasi) dan perawatannya dengan dilakukan
spuling air garam hangat tiap hari serta mencukupi gizi dan mencegah infeksi.
B. Saran
Dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan gangguan
saluran pencernaan kongenital ini hendaknya benar-benar memperhatikan trias
yang sering ditemukan pada penyakit hirschsprung (mekonium lebih 24 jam setelah
lahir, perut kembung dan muntah berwarna hijau) agar dapat memberikan perawatan
yang benar dan menghindarkan terjadinya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ngastiah.
1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta
Staff
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 3.
Universitas Indonesia. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar